Sobat UT, berikut adalah rangkuman tipe 2 yang kami rangkum dari materi dalam modul yang tersedia. Silahkan disesuaikan. Baca juga rangkuman Tipe 1 yang bersumber dari rangkuman di dalam Modul DI SINI.
RANGKUMAN TIPE 2
MODUL
1 KEGIATAN BELAJAR I
A.
LANDASAN
FILOSOFIS, DAN PSIKOLOGIS-PEDAGOGIS PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
Pandangan
filosofis adalah cara melihat pendidikan dasar dari hakikat pendidikan dalam
kehidupan manusia. Pertanyaan filosofis yang akan kita bahas adalah untuk apa
pendidikan Sekolah Dasar dikembangkan. Sementara itu cara pandang
psikologis-pedagogis atau psiko pedagogis adalah cara melihat pendidikan dasar
dari fungsi proses pendidikan dasar dalam pengembangan potensi individu sesuai
dengan karakteristik psikologis peserta didik.
1.
Landasan
Filosofis dan Psikologis-pedagogis
Pandangan filosofis dan
psikologis-pedagogis mewakili cara pandang pakar dalam bidang filsafat,
psikologi, dan pedagogik/ilmu mendidik terhadap keniscayaan proses pendidikan
untuk usia sekolah 6-13 tahun. Dikatakan suatu keniscayaan karena pendidikan
untuk anak usia tersebut berlaku universal dan telah menjadi kenyataan atau
sering disebut juga sebagai conditio sine quanon.
a.
Teori
Kognitifisme
Teori
Kognitifisme, yang lebih dikenal sebagai teori perkembangan kognitif
dikembangkan oleh Jean Piaget, dan diakui sebagai salah satu pilar atau tonggak
konseptual dan sumber pengetahuan tentang perkembangan kognitif anak (Maier,
1978: 12). Piaget menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah duplikat dari objek,
dan bukan pula sebagai tampilan kesadaran dari bentuk yang ada dengan
sendirinya dalam diri individu. Pengetahuan sesungguhnya merupakan konstruksi
pikiran yang terbentuk, karena secara biologis adanya interaksi antara
organisme dengan lingkungan, dan secara kognitif adanya interaksi antara
pikiran dengan objek. (Bell-Gredler, 1986: 191). Contohnya, konsep rumah,
mobil, gunung yang ada di benak kita bukanlah copy dari rumah, mobil, gunung
yang sesungguhnya tetapi merupakan konstruksi mental kita tentang rumah, mobil,
dan gunung, sebagai hasil interaksi pikiran kita dengan rumah, mobil, dan
gunung atau tiruannya, sebagai objek penginderaan kita secara langsung. Karena
itu pengetahuan merupakan suatu proses, bukanlah benda karena terbentuk melalui
interaksi sinambung antara individu dengan lingkungan. (Bell-Gredler,
1986:194). Contohnya, kemampuan kita untuk memecahkan masalah penghijauan,
adalah kemampuan pikiran kita untuk menaksir waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan kayu yang cukup tua, dengan kecepatan penebangan kayu yang ada.
Untuk itu perlu mengatur siklus penebangan kayu dengan penanaman kembali bibit
kayu sebagai penggantinya. Konsep inilah yang kemudian menjadi salah satu
postulat dari filsafat konstruktivisme. Sebagai Latihan, Cobalah Anda cari
contoh lain mengenai konsep yang ada dalam pikiran Anda dan kaitannya dengan
kenyataan yang dapat Anda lihat atau alami sendiri di lingkungan sekitar Anda.
Bertolak
dari penelitiannya yang dilakukan secara intensif, Piaget meneorikan adanya
empat tahap perkembangan kognitif seperti digambarkan dalam tabel sebagai
berikut
Tabel 1.1
Tahap
Perkembangan Kognitif Menurut Jean Piaget
USIA |
TAHAP |
KARAKTERISTIK |
0 sampai 1,5-2 th
|
Sensorimotorik |
Prasimbolik dan Praverbal;
kecerdasan
mencakup perkembangan pola
tindak mampu membedakan dirinya dengan lingkungan; mampu membedakan ciri
fisiknya; dan mulal tumbuhnya konsep tetap mengenai suatu objek. |
2-3 sampai 7-8 th
|
Praoperasional |
Pikiran logis parsial mulai
tumbuh; konsep ketetapan suatu objek mengarahkan pada identitas kualitas;
proses pikiran bertolak dari isyarat perseptual dan anak belum sadar akan
pernyataan yang saling bertentangan; perkembangan bahasa dimulai dan
bertambah dengan cepat; bicara spontan didominasi oleh monolog |
7-8 sampai 12-14 th
|
Operasi Konkret
|
Perilaku impulsif mulai
diganti dengan refleksi dasar dan anak mulai dapat membedakan perbedaan
pandangan orang lain; mulai bermain bersama termasuk kesepakatan aturan dan
kerja sama; cara berpikir logis terkait dengan objek. |
Lebih dari 14 th
|
Operasi Formal |
Pikiran tentang rencana
hidup dan peran orang dewasa mulai tumbuh; kemampuan berpikir logis dalam
berbagal situasi mulai tumbuh; individu mampu bernalar dari situasi hipotetis
sampai konkret. |
Tahap
sensori motorik merupakan saat mulai berkembangnya operasi prasimbolik dan
praverbal. Pada tahap ini berkembang pola tindak, misalnya anak mulai mampu
membedakan dirinya dengan lingkungan: mampu membedakan ciri fisiknya; dan mulai
tumbuhnya konsep tetap mengenai suatu objek. Tahap praoperasional ditandai
dengan perkembangan pikiran logis parsial mulai tumbuh konsep ketetapan suatu
objek dengan penekanan pada identitas kualitas. Proses pikiran bertolak dari
isyarat perseptual di mana anak belum sadar akan pernyataan yang saling
bertentangan. Pada tahap ini perkembangan bahasa dimulai dan bertambah dengan
cepat. Contohnya, anak mulai dapat berbicara spontan yang didominasi oleh
monolog yakni anak bercerita sendiri. Dalam tahap operasi konkret terjadi pergantian
perilaku impulsif dengan refleksi dasar. Anak mulai dapat membedakan pandangan
dirinya dan orang lain. Contohnya anak mulai bermain bersama dan membuat
kesepakatan aturan dan kerja sama antar mereka. Cara berpikir logis yang
terkait dengan objek mulai berkembang Pada tahap operasi formal mulai tumbuh
pikiran tentang rencana hidup dan peran orang dewasa, kemampuan berpikir logis
dalam berbagai situasi dan mulai mampu bernalar secara utuh mulai dari situasi
konkret sampai situasi hipotetis.
Dengan
menggunakan teori Piaget tersebut, kita dapat melihat bahwa anak usia SD/MI
berada dalam tahap perkembangan kognitif Praoperasional sampai Konkret. Pada
usia ini anak memerlukan bimbingan sistematis dan sistemik guna membangun
pengetahuannya. Oleh karena itu, peran pendidikan di SD/MI sangatlah strategis
bagi pengembangan kecerdasan dan kepribadian anak.
b.
Teori
Historis-Kultural (Cultural Historical Theories)
Teori ini
dikembangkan oleh Lev S.Vygotsky yang memusatkan perhatian pada bidang telaah
aspek manusia dari kognisi (http://web.syr.edu/ jccatald/cognitive). Teori ini
memusatkan perhatian pada penggunaan simbol sebagai alat, dengan dasar
pemikiran bahwa manusia menemukan alat yang telah mengantarkan kemajuan bagi
umat manusia. Sistem simbol yang dikembangkan adalah bahasa lisan dan tulisan,
sistem matematika, notasi musik dan lainnya. Melalui penggunaan simbol-simbol
ini manusia mengembangkan cara berpikir baru. Faktor-faktor biologis seperti
kematangan berpengaruh terhadap proses berpikir dasar seperti perhatian,
ingatan dan persepsi.
Pemerolehan
pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sejalan dengan teori
sociogenesis yang menempatkan kesadaran sosial sebagai hal yang bersifat
primer, sedangkan aspek individualnya bersifat derivatif. (Vigotsky, dalam
Budiningsih: 2003). Hal ini mengandung arti bahwa pada dasarnya pengetahuan dan
perkembangan kognitif seseorang merujuk pada berbagai sumber yang ada di luar
dirinya, walaupun tidaklah berati bahwa individu bersifat pasif. Itu sebabnya
dilihat dari sudut pandang Vigotskian (penganut teori Vigotsky) muatan kognitif
seseorang berkembang secara ko konstruktivistik, dalam arti ia berkembang
secara interaktif antara faktor sosial-kultural dan kapasitas mental individu.
Contohnya, kemampuan seseorang untuk menceritakan kembali cerita rakyat atau
cerita sejarah dengan baik bukan semata-mata karena potensi kognitifnya tetapi
juga karena berbagai rangsangan dari luar berupa cerita dalam buku yang
dibacanya, tayangan sinetron atau film yang relevan yang dilihatnya serta
penguatan lingkungan sekitar termasuk lingkungan di rumah yang memungkinkan
terbukanya akses informasi mengenai cerita tersebut.
Dengan
menggunakan teori Vigotsky, proses pendidikan di SD/ MI seyogianya diperlakukan
sebagai proses pertumbuhan kemampuan dalam diri individu sebagai produk
interaksi antara kemampuan intramental dan intermental individu dalam konteks
sosial-kultural. Lingkungan sosial kultural, contohnya lingkungan di rumah, di
sekolah, dan di masyarakat, merupakan determinan dari pertumbuhan kemampuan
itu.
c.
Teori
Humanistik
Konsep
humanistik dalam pendidikan memiliki banyak pengertian, antara lain bahwa suatu
sekolah atau kelas atau guru dapat dinilai humanistik bila memenuhi berbagai
kriteria: menekankan pada potensi manusia sebagai ciri utama; hubungan yang
hangat, kepercayaan, penerimaan, kesadaran akan perasaan orang lain, kejujuran
antar pribadi, dan pengetahuan kemasyarakatan. Pendidikan humanistik adalah
pendidikan manusia secara utuh dan menyeluruh, yang memusatkan perhatian pada
proses pendidikan yang memungkinkan peserta didik melakukan belajar menikmati
kehidupan atau mencapai kebutuhan lebih tinggi dalam pengertian kebutuhan akan
kehidupan yang optimal atau kemungkinan pertumbuhan yang positif.
Pendekatan
humanistik memiliki karakteristik: (a) Menjadikan peserta didik sendiri sebagai
isi, yakni mereka sendiri belajar tentang perasaannya dan perilakunya; (b)
Mengenal bahwa imaginasi peserta didik seperti dicerminkan dalam seni, impian,
cerita, dan fantasi sebagai hal yang penting dalam kehidupan yang dapat dibahas
bersama dengan teman sekelasnya; (e) Memberikan perhatian khusus terhadap
ekspresi non-verbal seperti isyarat dan nada suara karena diyakini hal itu
sebagai ungkapan perasaan dan sikap yang dikomunikasikan; (d) Menggunakan
permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai wahana simulasi perilaku yang
dapat dikaji dan diubah.
Ada tujuh aspek
tujuan pendidikan humanistik yakni: (a) Perkembangan personal, contohnya
kematangan berbicara (b) Perilaku kreatif yang mencakup pengembangan kemurnian,
kreativitas imajinasi, interpretasi baru, makna baru dan sejenisnya, seperti
bermain untuk membuat berbagai bentuk dari tanah liat; (c) Kesadaran antar
pribadi, contohnya setiap orang pasti membutuhkan orang lain untuk berteman (d)
Orientasi terhadap mata pelajaran atau disiplin ilmu (e) Materi, seperti
pengetahuan sosial. matematika, dan lain-lain (f) Metode pembelajaran afektif,
contohnya bermain peran sosial; (g) Guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Proses kreatif adalah penampilan dalam tindakan, yang merupakan suatu kekhasan
individual di satu pihak dan barang-barang, peristiwa, manusia, atau keadaan
kehidupannya di lain pihak. Embrio dari kreativitas adalah man's tendency to
actualize himself, to become his potentialities, yakni kecenderungan manusia
untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi perwujudan potensinya yang ia bisa
jadi. Dengan mengombinasikan pandangannya Ericson tentang Affective
Development, diperoleh tahap perkembangan manusia yang sehat sebagai berikut
(a) Tahap bertahan hidup pada masa bayi sebagai tahap awal memasuki kehidupan;
(b) Tahap pengokohan pada masa kanak-kanak sebagai masa yang ditandai dengan
proses belajar tentang aturan perilaku yang berlaku dalam keluarga dan
masyarakat; (c) Tahap sosiabilitas pada masa remaja sebagai masa yang mencakup
usia Sekolah Menengah Pertama sebagai masa memasuki dunia yang menuntut
perkembangan konseptual, emosional dan sosial dan ditemukannya dunia konvensi
dan kontrak sosial serta kesepakatan timbal balik; (d) Tahap keahlian pada masa
dewasa muda yang mencakup masa akhir sekolah menengah pertama sampai masa
pendidikan tinggi yang menuntut individu untuk memilih dan memulai bekerja
secara cermat untuk menyongsong dunia kerja profesional; dan (e) Tahap
kematangan pada masa dewasa yang ditandai dengan kebutuhan memenuhi keinginan
untuk menjadi sesuatu sebagai bentuk aktualisasi diri.
A.
LANDASAN
SOSIOLOGIS-ANTROPOLOGIS PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
Cara
pandang sosiologis antropologis atau sosio-antropologis adalah cara melihat
pendidikan dasar dari fungsi proses pendidikan dasar dalam proses sosialisasi
atau pendewasaan peserta didik dalam konteks kehidupan bermasyarakat, dan
proses enkulturasi atau pewarisan nilai dari generasi tua kepada peserta didik
yang sedang mendewasa dalam konteks pembudayaan.
Dilihat
secara sosiologis dan antropologis masyarakat dan bangsa Indonesia sangatlah
heterogen dalam segala aspeknya. Oleh karena itu, walaupun kita secara
konstitusional menganut konsepsi satu sistem pendidikan nasional, instrumentasi
atau pengelolaan sistem pendidikan itu tidaklah mungkin dilakukan secara
homogen penuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki fenomena yang bersifat
pluralistik atau berbhinneka tetapi terikat oleh komitmen satu kesatuan tanah
air, kebangsaan, dan bahasa persatuan. Itulah semangat Bhinneka Tunggal Ika
yang menjadi seloka kehidupan kita dan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Keadaan itu yang merupakan suatu conditio sine quanon atau kenyataan yang
merupakan keniscayaan yang secara nyata akan mempengaruhi praksis atau
kehidupan nyata pendidikan nasional kita, termasuk pendidikan Sekolah Dasar.
Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional kita menganut prinsip diversifikasi
dalam pengembangan kurikulumnya, sebagai bentuk perwujudan kelenturan atau
fleksibilitas dan adaptabilitas sistem pendidikan terhadap kondisi sosiologis
dan antropologis Indonesia. Contohnya, Kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) masing-masing Sekolah Dasar di berbagai tempat di seluruh tanah air
dapat mengakomodasikan keunikan lingkungannya (perkotaan, perdesaan pertanian,
perdesaan pantai dan sebagainya) dengan tetap merujuk pada standar nasional
pendidikan.
Secara
sosiologis Indonesia merupakan masyarakat agraris dan maritim yang secara
terus-menerus mengalami transformasi menjadi masyarakat modern dengan cara
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya. Secara sosio-politik bangsa Indonesia merupakan sebuah
negara kebangsaan atau nation state yang didukung oleh masyarakat majemuk
multietnis, multiras, multi pengalaman sejarah yang bersatu dalam tata
kehidupan masyarakat negara, dari sebuah negara kesatuan atau unitary state dan
bukan sebuah negara serikat atau federal state. Hal ini mengandung makna bahwa
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia merupakan sebuah entitas sosial yang
menjadi satu kesatuan utuh karena faktor kontrak sosial dan komitmen sosial,
sebagaimana hal itu termaktub dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Pembukaan UUD 1945. Inti
dari semua kontrak dan komitmen sosial tersebut itu adalah bahwa bangsa
Indonesia adalah satu tapi plural yang bersatu dalam wadah NKRI untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Oleh karena itu, keutuhannya harus selalu dijaga dan dipelihara
oleh semua komponen masyarakat, bangsa, dan Negara.
Implikasi
dari karakteristik sosiologis dan sosial-politis masyarakat, bangsa dan Negara
Indonesia adalah perlu dibangunnya satu sistem pendidikan nasional yang
diselenggarakan dengan menerapkan politik pendidikan nasional yang
terdesentralisasi. Dengan politik desentralisasi pendidikan, kekuasaan
pemerintah dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional terbagi ke dalam
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sistem pendidikan nasional
yang menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas lebih bersifat
sentralistik, kini dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
secara fundamental berubah menjadi sebuah sistem pendidikan yang lebih
desentralistik. Alasan alasan perubahan yang sangat mendasar dan pokok-pokok
desentralisasi pendidikan tersebut dapat kita pahami dari Penjelasan UU 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai berikut.
1.
Secara
makro nasional gerakan reformasi di Indonesia menuntut diterapkannya
prinsip-prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.
Keseluruhan
prinsip tersebut memberi implikasi terhadap kandungan, proses dan manajemen
pendidikan nasional. Untuk itulah dalam sistem pendidikan kita saat ini
diupayakan berbagai pembaharuan seperti kurikulum nasional yang bersifat
sentralistik menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersifat
desentralistik; penerapan kurikulum yang berdiversifikasi untuk melayani
keberagaman; dan pengembangan standar nasional pendidikan sebagai baku mutu pendidikan
secara nasional.
3.
Sesuai
dengan UU No. 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan daerah beserta PP RI No. 38
Tahun 2007, sebagian besar urusan pendidikan telah didesentralisasikan ke
pemerintah kabupaten/kota, sehingga perwujudan sistem pendidikan nasional kini
berada pada situs satuan pendidikan dengan paradigma manajemen berbasis sekolah
(MBS) dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai wahana operasional
sistem pendidikan nasional tersebut. Pemerintah pusat lebih banyak berperan
sebagai regulator dan penjamin mutu pendidikan secara makro dalam konteks
perwujudan pendidikan nasional sebagai wahana pemberdayaan potensi peserta
didik, pengembangan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, guna
mewujudkan proses pencerdasan kehidupan bangsa.
Dengan
demikian bila semua prinsip pendidikan nasional dapat diwujudkan dengan baik,
maka keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat dan bangsa, Indonesia akan
terakomodasi dalam sistem pendidikan nasional. Demikian juga dalam pengelolaan
pendidikan Sekolah Dasar, yang kita paham bahwa sebagian besar wilayah
Indonesia merupakan wilayah pedesaan, dan sebagian besar penduduk Indonesia dari
sekitar 200 jutaan itu terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dalam konteks itu maka
pengelolaan pendidikan yang berdiversifikasi dengan tetap berorientasi mutu
yang bersifat nasional atas dasar standar nasional pendidikan, merupakan suatu
keharusan untuk dikembangkan secara konsisten dan berkelanjutan. Dengan
demikian pendidikan Sekolah Dasar akan mampu memfungsikan dirinya sebagai
lembaga pendidikan formal yang memberi landasan pengembangan diri sebagai
individu putra putri Indonesia dan memberi landasan yang kuat untuk melanjutkan
pada pendidikan SMP dan sejenisnya sebagai manifestasi program wajib belajar
pendidikan dasar.
SUMBER:
Wardani,
IG.A.K., dkk. (2020, cetakan ke-XX). Perspektif Pendidikan. Tangerang Selatan:
Penerbit Universitas Terbuka.
0 comments:
Post a Comment