Bahan Renungan dan Refleksi: Garam dan Telaga >>> Kisah yang akan dipaparkan berikut ini dapat kita kategorikan sebagai bahan renungan dan bahan untuk merefleksikan diri. Dengan memahami renungan sederhana ini, kita bisa belajar tentang bagaimana kita menghadapi suatu permasalahan dalam hidup, karna namanya manusia biasa, sudah wajar jika hidup itu naik dan turun, ada suka dan duka, ada tawa dan tangisan, dan ada penyesalan serta kebahagiaan.
Kisah berikut ini juga bukanlah kisah baru, hanya saja saya tertarik untuk membaginya kepada saudara sekalian, karena saya pernah membawa renungan ini menjadi bahan refleksi pada sebuah diskusi doa dalam basis saya. Mari kita simak saja ceritanya ...
Bahan Renungan dan Refleksi: Garam dan Telaga
Once upon a time, Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air mukanya menampakkan kekosongan dan keruwetan hidup yang ia alami. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba. minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu. sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang dengan cara mengaduk- aduk dan terciptalah riak-riak air yang mengusik ketenangan telaga itu.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi. "Bagaimana rasanya?".
"Segar", sahut tamunya. "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi. "Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak. Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Akan tetapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
"Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.
Sekian.
Yeah, terkadang kita selalu memandang sempit akan sebuah masalah atau perkara. KEtika kita menghadapi suatu masalah, kita mengkerdilkan sendiri diri kita dengan berfikir bahwa hanya inilah yang dapat saya lakukan, aku pasrah saja. Namun bukan itu yang kita mau, hati kita berkata lain. Maka lapangkanlah hati, buka hari selebar-lebarnya, sehingga masalah itu tampak lebih kecil dari pada semangat dan harapan dalam hati kita yang menggebu-gebu.
0 comments:
Post a Comment